Dilirik AS karena Trump, QRIS Indonesia Jadi Sorotan Global
Radio Senda 1680 – QRIS Indonesia merupakan standar nasional resmi untuk sistem QR Code pembayaran yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Sistem ini diluncurkan pada 17 Agustus 2019 dengan tujuan menyederhanakan transaksi pembayaran digital agar lebih cepat, mudah, dan aman bagi masyarakat di seluruh Indonesia.
Sejak 1 Januari 2020, Bank Indonesia mewajibkan seluruh merchant di Indonesia untuk menggunakan QRIS sebagai satu-satunya standar QR Code dalam transaksi digital. Kebijakan ini menjadi langkah besar dalam mendorong digitalisasi ekonomi nasional.
QRIS hadir untuk mengatasi kerumitan sistem pembayaran QR Code yang sebelumnya berbeda-beda antar aplikasi. Sebelum hadirnya QRIS, para konsumen harus menyesuaikan aplikasi dompet digital yang mereka gunakan dengan jenis QR Code yang merchant sediakan. Kondisi ini tentu menyulitkan dan kurang praktis.
“Simak Juga: Pengosongan Sekretariat Himasta FMIPA USU, Prosedur Tak Jelas”
Dengan menghadirkan QRIS, Bank Indonesia menyatukan sistem pembayaran. Hal ini agar satu kode QR dapat digunakan oleh berbagai aplikasi seperti OVO, DANA, GoPay, LinkAja, dan ShopeePay. Bank Indonesia juga mengadopsi format internasional EMVCo yang mendukung penggunaan QR Code statik maupun dinamik. Selain itu, mereka mengintegrasikan transaksi ke dalam sistem switching terpusat untuk menjamin kecepatan dan keamanan secara real-time.
Bank Indonesia memperkenalkan fitur QRIS Tuntas pada tahun 2023. Fitur ini memungkinkan pengguna melakukan tarik tunai, setor tunai, dan transfer hanya dengan QR Code. Hingga tahun 2024, sudah ada lebih dari 26 juta merchant yang menggunakan QRIS, dan jumlah ini terus meningkat.
Meski di dalam negeri QRIS mendapat sambutan positif, di tingkat internasional justru menuai perhatian, khususnya dari Pemerintah Amerika Serikat. Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) menyatakan kekhawatiran bahwa penerapan QRIS dan kebijakan sistem pembayaran nasional Indonesia bisa membatasi ruang gerak perusahaan asing.
Dalam laporannya, USTR menyebut bahwa Bank Indonesia tidak melibatkan sejumlah perusahaan AS, termasuk penyedia layanan pembayaran dan bank, dalam proses kebijakan QRIS. Mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk terlibat dalam proses penyusunan kebijakan QRIS.
Selain itu, USTR juga menyoroti Peraturan BI No.19/08/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), yang mewajibkan seluruh transaksi domestik untuk melewati lembaga switching lokal dengan kepemilikan asing maksimal 20 persen. USTR menilai bahwa aturan tersebut dapat membatasi akses dan partisipasi penyedia layanan asing di pasar pembayaran digital Indonesia.
“Baca Juga: 6 Manfaat Daun Pepaya untuk Kesehatan”