
Satu Hal Yang Kurindu (Yeshua Abraham / youtube.com)
Radio Senda 1680 – Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan kompetitif, banyak orang berbuat baik bukan karena dorongan hati yang tulus, tetapi demi pengakuan dan keuntungan pribadi. Fenomena ini menjadi cerminan bahwa nilai ketulusan kerap terpinggirkan. Namun, melalui firman Tuhan dalam Yehezkiel 33:10–20, kita diingatkan bahwa kebaikan tanpa ketulusan tidak bernilai di hadapan Allah. Ketulusan meniadakan pamrih, dan hanya hati yang tulus yang dapat membuat perbuatan baik memiliki makna sejati.
Tuhan berfirman kepada Yehezkiel untuk menyampaikan peringatan kepada bangsa Israel. Ia berkata, “Kebenaran orang benar tidak menyelamatkan dia pada waktu ia jatuh dalam pelanggaran, dan kejahatan orang jahat tidak menyebabkan dia tersandung pada waktu ia bertobat dari kefasikannya.” (Yehezkiel 33:12)
Firman ini menegaskan bahwa kebaikan masa lalu tidak dapat menutupi dosa yang dilakukan kemudian. Allah tidak menilai seseorang hanya dari jumlah perbuatan baiknya, tetapi dari kemurnian hati dan ketaatannya pada kehendak-Nya. Seseorang yang hidup benar namun kemudian berbuat dosa harus bertobat, sedangkan orang yang berdosa tetapi sungguh-sungguh bertobat akan menerima pengampunan Tuhan.
Pesan ini mengingatkan kita bahwa hidup iman bukan sekadar menumpuk amal baik, tetapi menata hati untuk selalu sejalan dengan kebenaran Allah.
Sering kali manusia berbuat baik dengan niat tersembunyi. Ada yang menolong demi citra diri, memberi dengan harapan pujian, bahkan mengasihi untuk mendapatkan sesuatu. Padahal, kebaikan seperti itu kehilangan makna spiritualnya.
Ketulusan adalah inti dari kasih sejati. Ketika seseorang melakukan kebaikan dengan hati yang bersih, tanpa pamrih atau kepentingan pribadi, maka perbuatan itu menjadi persembahan yang menyenangkan di hadapan Allah.
Sebaliknya, orang yang berbuat baik demi kepentingan diri sendiri tidak akan menemukan kedamaian batin dan tidak memperoleh nilai rohani di hadapan Tuhan.
Firman Tuhan menegaskan bahwa Allah menghendaki umat-Nya hidup dalam pertobatan dan kebenaran yang lahir dari hati yang murni, bukan karena mereka ingin menutupi kesalahan atau mencari pembenaran diri.
Hidup Seturut Kehendak Allah
Pesan dalam Yehezkiel 33 juga mengajarkan bahwa Allah memandang hati lebih dari tindakan lahiriah. Hidup sebagai umat Tuhan berarti mengarahkan hati kepada-Nya setiap hari. Dalam dunia yang penuh kepura-puraan, ketulusan menjadi pembeda yang menunjukkan integritas iman.
Ketulusan menghapus pamrih karena orang yang tulus tidak mencari keuntungan dari kebaikan yang ia lakukan. Ia menolong karena dorongan kasih, bukan karena ingin terlihat baik. Ia meminta maaf karena sadar akan kesalahan, bukan untuk mencari simpati.
Dengan hidup tulus, seseorang belajar untuk menerima dan mengampuni, sebagaimana Allah mengampuni umat-Nya yang bertobat.
Infomasi Lain :
Pertobatan sejati tidak hanya berbentuk penyesalan, tetapi juga perubahan hati. Orang yang sungguh bertobat akan meninggalkan cara hidup lamanya dan berusaha hidup sesuai kehendak Tuhan. Ketulusan dalam pertobatan inilah yang membawa keselamatan.
Budi baik yang dilakukan dengan ketulusan mampu menuntun seseorang untuk terus hidup dalam kasih. Namun, jika kebaikan hanya menjadi alat pembenaran diri, maka hidup kehilangan arah rohani. Tuhan tidak menginginkan perbuatan baik yang dijadikan “perisai dosa,” melainkan hati yang mau diperbarui setiap hari.
Menjalani hidup dengan ketulusan bukan hal mudah. Dunia sering kali menilai dari penampilan luar, bukan dari niat hati. Namun, orang yang tulus tidak peduli pada penilaian manusia, karena ia berfokus pada pandangan Allah.
Ketika kita belajar hidup tulus, kita belajar untuk mengasihi tanpa pamrih, memberi tanpa mengharapkan balasan, dan memaafkan tanpa menuntut pengakuan. Ketulusan menumbuhkan damai sejahtera di hati dan mempererat hubungan kita dengan Tuhan.
Oleh sebab itu, marilah kita menjadikan ketulusan sebagai dasar dalam setiap tindakan. Dengan hati yang tulus, kita dapat menjalani hidup dalam kebenaran dan kasih Allah.
Pesan dari Yehezkiel 33:10–20 menegaskan bahwa Allah tidak menilai manusia dari banyaknya amal, tetapi dari ketulusan hati yang mau bertobat dan mengikuti kehendak-Nya. Ketulusan meniadakan pamrih, mengikis ego, dan mengajarkan kita untuk berbuat baik karena kasih, bukan karena ingin dihargai.
Hidup dalam ketulusan berarti mengarahkan hati kepada Allah setiap hari, meneladani kasih-Nya, dan membiarkan kebenaran-Nya memimpin langkah kita. Dengan demikian, kita tidak hanya dikenal sebagai orang baik, tetapi sebagai umat yang benar-benar hidup dalam kasih dan ketulusan sejati.