Memanas! China Kena Tarif 125% dari Trump, Apa Dampaknya?
Radio Senda 1680 – China kena tarif 125% dari AS setelah Presiden Donald Trump mengumumkan kenaikan tarif impor terhadap produk Negeri Tirai Bambu. Kebijakan ini menjadi respons atas tarif tinggi yang diberlakukan Beijing terhadap barang-barang asal AS, memicu kembali ketegangan dagang antara kedua negara. Trump menilai kebijakan ini sebagai bentuk perlindungan terhadap industri dan lapangan kerja domestik. Ia menyebut tarif tinggi sebagai upaya membalas praktik perdagangan yang dianggap merugikan AS selama bertahun-tahun.
Sejak awal 2025, Trump secara bertahap meningkatkan tarif terhadap barang impor dari China. Dimulai dengan tambahan 10% pada Februari, berlanjut menjadi 20% di Maret, dan naik lagi menjadi 54% pada awal April. Beijing membalas dengan tarif sebesar 34% atas produk AS.
“Baca Juga: Oppo Find X8 Ultra Rilis Global 10 April 2025”
Trump lalu memberikan ultimatum kepada China untuk mencabut tarif balasannya, namun Beijing justru menaikkan tarifnya menjadi 84%. Merespons hal ini, Trump kembali menaikkan tarif terhadap produk China menjadi 125% pada 9 April 2025.
Kementerian Perdagangan China menanggapi kebijakan tarif AS dengan pernyataan tegas. Beijing menyebut tindakan Washington sebagai bentuk “intimidasi ekonomi” dan menegaskan akan membalas secara proporsional. “Kenaikan tarif tidak akan menyelesaikan masalah AS. Justru berisiko menambah tekanan inflasi, mengguncang pasar, dan memicu resesi,” tulis pernyataan resmi.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian, menegaskan bahwa meski China bukan pencetus konflik, mereka tidak akan tinggal diam. Pemerintah China menyatakan bahwa langkah-langkah balasan bertujuan menjaga kedaulatan, keamanan nasional, serta keadilan dalam perdagangan internasional.
Meski konflik memanas, China dan AS tetap merupakan mitra dagang utama. Pada 2024, AS mengimpor produk senilai US$438,9 miliar dari China, setara dengan sekitar 3% PDB Negeri Tirai Bambu.
Namun, para analis memperkirakan bahwa tarif baru ini akan berdampak signifikan terhadap ekonomi China. Goldman Sachs memprediksi penurunan PDB hingga 2,4%, sementara UBS memperkirakan pertumbuhan ekonomi bisa melambat menjadi hanya 4% di 2025, bahkan dengan ekspansi fiskal besar-besaran.
Profesor ekonomi Jayanti Ghosh menyatakan bahwa China kemungkinan akan fokus pada stimulus domestik dan memperkuat kerja sama ekonomi dengan negara-negara Selatan. Langkah-langkah seperti penurunan suku bunga, pinjaman daerah, dan devaluasi yuan dapat China lakukan untuk menjaga daya saing ekspor.
China juga disebut akan memperluas jangkauan diplomatik dan perdagangan melalui pinjaman dan keringanan utang kepada mitra dagang strategis, sebagai respons diam-diam terhadap tekanan tarif AS.
China kena tarif 125% dari Amerika Serikat menjadi salah satu faktor yang memperburuk tekanan ekonomi terhadap negara tersebut. Lembaga pemeringkat Fitch baru-baru ini menurunkan peringkat kredit China, dengan alasan meningkatnya utang pemerintah sebagai dampak dari tekanan ekonomi global, termasuk efek lanjutan dari perang dagang. Namun menurut Ghosh, risiko sebenarnya justru membayangi ekonomi AS, yang rentan terhadap inflasi, gejolak pasar, menurunnya daya beli masyarakat, serta potensi penurunan investasi akibat kebijakan tarifnya sendiri yang bersifat proteksionis dan bisa menjadi bumerang dalam jangka panjang.
“Simak Juga: Bawang Putih, Bumbu Dapur yang Kaya Manfaat Kesehatan”