Pengamat Desak Usut BLBI-BCA, Negara Berpeluang Rebut 51% Saham BCA
Radio Senda 1680 – Ekonom UGM Sasmito Hadinegoro mendesak Presiden Prabowo menyelamatkan uang negara dari mega skandal BLBI-BCA. Salah satu langkah yang ia dorong adalah mengambil kembali 51 persen saham Bank Central Asia (BCA) yang kini swasta kuasai. Menurutnya, Presiden perlu segera membentuk tim khusus untuk mengungkap dugaan mafia keuangan di balik kasus yang merugikan negara hingga triliunan rupiah.
“Angin kencang sudah berkali-kali kita tiupkan untuk mengusut BLBI-BCA. Pemerintah punya hak mengambil kembali 51 persen saham BCA tanpa membayar,” ujar Sasmito, Ketua LPEKN (Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan Negara), Rabu (13/8/2025).
Sasmito menuding ada rekayasa dalam proses akuisisi 51 persen saham BCA oleh Djarum Group pada era Presiden Megawati. Pada Desember 2002, BCA mencatat nilai Rp117 triliun dan menanggung utang sekitar Rp60 triliun kepada negara, yang mereka angsur Rp7 triliun per tahun.
“Simak Juga: Finger Cutting Ritual, Tradisi Duka Memotong Jari di Papua Nugini”
Ia menilai langkah yang sempat Presiden Jokowi ambil lewat pembentukan tim keppres harus Presiden Prabowo lanjutkan. “Kenapa tim pemeriksaan BLBI-BCA tidak diteruskan? Pemberian obligasi yang sampai sekarang masih berjalan setiap triwulan jumlahnya besar sekali, mungkin sudah tembus Rp1.500 triliun,” tegasnya.
Kepala Staf Presiden Moeldoko pernah mengonfrontasi Sasmito langsung dengan pihak BCA pada 4 September 2018. “Saya jelaskan semua, mereka tidak bisa membantah. Kalau diusut tuntas, aset senilai Rp700 triliun bisa masuk ke kas negara,” ujarnya.
Ia bahkan siap memimpin satgas pemberantasan mafia keuangan negara jika diberi mandat. “Keuangan negara sedang seret, perlu ide out of the box. Demi NKRI, saya siap pasang badan,” katanya.
Menurut Sasmito, jika penegakan hukum atas skandal BLBI-BCA ini jalan di tempat, kepercayaan publik terhadap pemerintah bisa runtuh. Hal ini bertentangan dengan komitmen Presiden Prabowo untuk memerangi segala bentuk korupsi.
Pengamat Hukum dan Pembangunan Hardjuno Wiwoho menilai wafatnya ekonom senior Kwik Kian Gie menjadi momentum untuk mengingat sikap tegasnya menolak skema penyelesaian BLBI yang merugikan negara.
Kwik tercatat sebagai satu-satunya menteri di Kabinet Megawati yang secara terbuka menolak pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada obligor BLBI, meski semua pihak lain memilih kompromi. Ia berulang kali menyampaikan penolakannya, baik di rapat kabinet maupun di media.
Selain SKL, Kwik juga menentang penjualan mayoritas saham BCA ke swasta. Saat itu, BCA memegang obligasi rekap BLBI senilai Rp60 triliun dan menerima subsidi bunga Rp7 triliun per tahun pada periode 2004–2009, total Rp42 triliun.
Namun pada 2002, BCA menjual 51 persen sahamnya ke pihak swasta hanya sekitar Rp5 triliun, tanpa tender terbuka. Padahal nilai asetnya saat itu mencapai Rp117 triliun. “Negara kehilangan kendali strategis atas bank, semua terjadi di bawah tekanan IMF,” kata Hardjuno.
Hardjuno menilai peringatan Kwik terbukti benar. Pemberian SKL kepada sejumlah obligor justru memicu masalah hukum bertahun-tahun kemudian.
Sjamsul Nursalim, misalnya, sudah menerima SKL namun tetap menjadi tersangka kasus korupsi BLBI bersama eks Kepala BPPN Syafruddin Temenggung. Begitu juga Marimutu Sinivasan dari Texmaco Group, yang Kejaksaan Agung proses meski sudah memperoleh SKL.
“Kwik sudah mengingatkan, SKL adalah pengampunan dini tanpa akuntabilitas memadai. Kini kita melihat sendiri panjangnya dampak masalah hukumnya,” ujar Hardjuno.
“Baca Juga: Mengenal Encephalopathy Oral, Dampak Gagal Hati pada Kesehatan Mulut”