Radio Senda 1680 – Pada Sabtu, 15 Februari 2025, dunia dikejutkan dengan kabar tragis tentang pembunuhan Muhsin Hendricks, seorang imam dan aktivis LGBTQ+. Hendricks, yang dikenal sebagai pemuka agama Muslim pertama yang secara terbuka mengakui dirinya gay, ditemukan tewas setelah ditembak dalam serangan brutal di dekat kota Gqeberha, yang sebelumnya dikenal sebagai Port Elizabeth. Insiden ini menyisakan pertanyaan besar mengenai motif di balik pembunuhan tersebut.
Dua pria bertopeng menembak mati Hendricks saat berada di dalam mobil bersama seorang lainnya. Mereka menghentikan dan memblokir jalan kendaraan Hendricks. Kemudian dua pria yang mengenakan masker keluar dari mobil dan menembak berulang kali ke arah kendaraan Hendricks. Kemudian mereka segera melarikan diri setelah melakukan aksi tersebut. Polisi setempat saat ini sedang menyelidiki kemungkinan kejahatan bermotif kebencian sebagai latar belakang dari pembunuhan ini.
“Simak Juga: Kim Sae Ron Meninggal, Waspadai Gejala Henti Jantung”
Pembunuhan Hendricks memicu kecaman luas, terutama dari kelompok-kelompok yang memperjuangkan hak-hak LGBTQ+. ILGA World (Asosiasi Lesbian, Gay, Biseksual, Trans, dan Interseks Internasional) mengecam tindakan ini dan mendesak penyelidikan yang mendalam. Julia Ehrt, Direktur Eksekutif ILGA, menyatakan keprihatinannya, mengatakan, “Kami khawatir ini adalah kejahatan bermotif kebencian.” Banyak pihak menduga bahwa Hendricks menjadi target karena perjuangannya untuk hak-hak Muslim LGBTQ+, sebuah isu yang kontroversial di banyak tempat, termasuk Afrika Selatan.
Muhsin Hendricks telah lama menjadi sosok penting dalam gerakan LGBTQ+ Muslim, mendirikan Masjid Al-Ghurbaah di Wynberg, Cape Town, yang menciptakan ruang ibadah inklusif untuk Muslim LGBTQ+ dan perempuan yang terpinggirkan. Hendricks adalah sosok yang berani mengungkapkan orientasi seksualnya sebagai gay pada 1996, sebuah langkah yang langka di kalangan ulama Muslim. Dalam sebuah wawancara, ia pernah mengatakan, “Kebutuhan untuk menjadi autentik jauh lebih besar daripada ketakutan untuk mati,” sebuah pernyataan yang kini terasa begitu menggugah setelah kematiannya.
Afrika Selatan menjadi salah satu negara pertama yang melegalkan pernikahan sesama jenis pada 2006. Namun, diskriminasi dan kekerasan terhadap komunitas LGBTQ+ masih terjadi. Negara ini juga menghadapi tingkat kejahatan yang sangat tinggi, dengan sekitar 28.000 kasus pembunuhan dalam setahun hingga Februari 2024. Pembunuhan Hendricks memperlihatkan betapa jauh perjuangan untuk perlindungan terhadap komunitas LGBTQ+ di Afrika Selatan masih harus berjalan.
Meskipun Hendricks telah meninggal, warisannya sebagai imam yang memperjuangkan Islam inklusif dan hak-hak LGBTQ+ tidak akan pernah dilupakan. Hendricks membuka jalan bagi banyak Muslim LGBTQ+ untuk menemukan tempat mereka dalam komunitas mereka. Meskipun perjuangan ini masih jauh dari selesai. Rekan-rekannya mengungkapkan bahwa semangat Hendricks akan terus hidup dalam perjuangan untuk keadilan dan penerimaan.
Dengan tragedi ini, banyak pihak mendesak pemerintah Afrika Selatan untuk segera mengungkap motif dan menemukan pelaku pembunuhan ini, serta memperkuat perlindungan bagi komunitas LGBTQ+.
“Baca Juga: Perang Salib, Konflik Bersejarah antara Dunia Kristen dan Muslim”