Radio Senda 1680 – Perang dagang antara China dan AS semakin memanas setelah China mengumumkan tarif impor baru terhadap komoditas asal AS. Kebijakan ini merupakan respons terhadap keputusan Washington yang menetapkan tarif 10 persen bagi komoditas asal China, yang mulai berlaku pada Selasa (4/2/2025). Langkah ini memperburuk hubungan perdagangan antara kedua negara besar dan menambah ketidakpastian dalam perekonomian global. Perang dagang ini akan membawa dampak jangka panjang bagi stabilitas ekonomi dunia.
Kementerian Keuangan China menyatakan bahwa mereka akan mengenakan tarif 15 persen pada produk batu bara dan gas alam cair (LNG) asal AS. Sementara itu, produk seperti minyak mentah, mesin pertanian, dan mesin mobil akan dikenakan tarif 10 persen. Kementerian Keuangan China juga menyebutkan bahwa kebijakan tarif yang ditetapkan AS secara unilateral melanggar aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
“Baca Juga: Sekolah Medan Bantah Terlibat Penipuan Masuk Kedokteran USU”
“Peningkatan tarif AS secara sepihak melanggar aturan WTO,” demikian pernyataan Kementerian Keuangan China. “Ini tidak hanya akan menyelesaikan masalah mereka sendiri, tetapi juga merusak kerja sama perdagangan yang normal antara China dan AS.”
Selain mengenakan tarif, Beijing juga memulai penyelidikan terhadap Google terkait kecurigaan monopoli. Google sendiri terbatas dalam operasinya di China setelah menolak memenuhi permintaan sensor dari pemerintah Beijing pada 2010. Penyelidikan ini menambah ketegangan dalam hubungan teknologi antara kedua negara.
China merupakan negara importir gas alam cair terbesar di dunia. Namun, sebagian besar pasokannya berasal dari negara-negara seperti Australia, Qatar, dan Malaysia. Meski begitu, pada tahun 2023, AS masih mengekspor sekitar 173.247 juta kaki kubik LNG ke China, meski volume ini hanya mencakup 2,3 persen dari total ekspor gas alam AS.
Analis memperkirakan kebijakan tarif ini akan berdampak signifikan tidak hanya pada ekonomi AS, tetapi juga ekonomi global. Stephen Dover, Kepala Strategi Pasar di Franklin Templeton Institute, mengungkapkan bahwa kebijakan tarif China dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi global. Ia juga menyebutkan bahwa hal ini dapat berdampak pada pelambatan produk domestik bruto (PDB) di berbagai negara.
“Risikonya adalah ini bisa menjadi awal dari perang dagang yang saling balas-membalas, yang dapat mengakibatkan pertumbuhan PDB yang lebih rendah, inflasi AS yang lebih tinggi, dolar yang lebih kuat, dan tekanan pada suku bunga AS,” kata Dover.
“Simak Juga: Heatstroke Bisa Sebabkan Kematian, Hati-Hati!”