Travel Tipu Ribuan Jemaah Haji, Minta Rp 434 Juta per Orang
Radio Senda 1680 – Travel tipu jemaah haji sering menjadi masalah, mengingat ibadah haji sangat penting bagi mayoritas umat Islam di Indonesia. Selain sebagai salah satu rukun Islam yang wajib dipenuhi, menjalankan haji juga sering dianggap sebagai simbol status sosial di masyarakat. Oleh karena itu, minat masyarakat Indonesia untuk menunaikan ibadah haji selalu tinggi setiap tahunnya.
Namun, tingginya antusiasme ini sayangnya juga membuka peluang bagi oknum agen travel haji yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan penipuan. Salah satu kisah travel tipu jemaah haji yang cukup tragis bahkan terjadi ratusan tahun lalu, di mana ribuan calon jemaah asal Indonesia terlantar di Singapura.
Antusiasme masyarakat Indonesia untuk pergi haji sudah terlihat sejak zaman kolonial Belanda. Pada masa itu, ongkos perjalanan haji jauh lebih mahal dibandingkan sekarang karena sarana transportasi yang berbeda. Jemaah melakukan perjalanan dengan kapal laut yang memakan waktu berbulan-bulan, yaitu 1-2 bulan saat berangkat dan waktu yang sama saat pulang.
“Baca Juga: Konsultan USU Rancang Solusi Penanganan Banjir di Serbelawan”
Calon jemaah harus menyiapkan dana besar untuk membiayai kapal, akomodasi selama perjalanan, kebutuhan selama ibadah di Makkah, serta ongkos kembali ke Tanah Air. Dalam memoar Bupati Serang dan Jakarta, Achmad Djajadiningrat, biaya haji pada awal 1900-an adalah berkisar antara 500 hingga 800 gulden.
Jika dikonversi ke harga emas sekarang, biaya tersebut setara sekitar Rp 434 juta per orang, jumlah yang sangat besar bagi masyarakat kala itu.
Agen travel haji saat itu, yaitu syekh haji, sering menawarkan paket haji dengan biaya rendah yang menggiurkan. Bagi calon jemaah berpenghasilan pas-pasan dan minim pengetahuan, tawaran tersebut sangat menarik.
Namun kenyataannya, banyak calon jemaah yang menyerahkan uang dan kemudian diperdaya. Mereka berangkat dengan kapal barang sewaan yang fasilitasnya sangat terbatas, bukan dengan kapal penumpang yang layak. Kapal-kapal tersebut bahkan tidak memiliki kamar tidur, toilet, dan perbekalan yang cukup.
Masalah nyata muncul ketika kapal berhenti di Singapura, sebuah titik transit penting untuk perjalanan ke Timur Tengah. Karena ongkos murah, syekh haji sering meminta calon jemaah turun di Singapura dan tidak melanjutkan perjalanan ke Makkah, sehingga ribuan calon jemaah terlantar tanpa kepastian.
Laporan konsulat Belanda di Jeddah tahun 1893 mencatat ada 5.193 jemaah asal Indonesia. Namun, hanya 1.984 yang kembali ke tanah air. Sisanya terjebak di Singapura, kehabisan uang dan perbekalan.
Para jemaah terlantar tersebut menghadapi pilihan sulit: melanjutkan perjalanan ke Makkah dengan cara bekerja terlebih dahulu di perkebunan selama berbulan-bulan, atau pulang ke Indonesia tanpa pernah menunaikan ibadah haji.
Bagi yang memilih pulang, ada praktik manipulasi sertifikat haji. Mereka membeli sertifikat palsu yang menyatakan telah menunaikan ibadah haji agar tidak malu di kampung halaman. Dengan sertifikat ini, mereka tetap mendapat gelar “bapak haji” atau “ibu haji” dan mendapatkan kehormatan sosial.
Mereka kemudian menyebut diri mereka “Haji Singapura,” sebuah fenomena sosial yang lahir dari penipuan dan kesulitan ekonomi.
Kisah penipuan agen travel haji di masa kolonial ini menjadi peringatan bagi kita bahwa pentingnya kehati-hatian dalam memilih layanan perjalanan haji. Seiring perkembangan zaman, harapannya adalah kasus-kasus serupa tidak terulang, sehingga calon jemaah dapat menjalankan ibadah dengan lancar dan aman.
“Simak Juga: Terobosan Baru Bedah Mikro untuk Penanganan Cedera Tangan”