
Ilustrasi seoarang suami masuk rumah sakit dan mendapatkan mukjizat (vecteezy)
Radio Senda 1680 – Saat suamiku jatuh sakit dan ekonomi keluarga goyah, aku sempat mengeluh dan menawar pada Tuhan. Melalui firman, pemurnian, dan teladan Ayub, aku pelan-pelan mengerti maksud Tuhan: membersihkan niatku yang salah dan menuntunku pada ketundukan. Ketika aku belajar berserah, Tuhan membuka jalan dan memulihkan keadaan kami.
Pada Agustus 2001, seorang saudari bersaksi kepadaku bahwa Tuhan berinkarnasi kembali untuk melakukan pekerjaan penghakiman-Nya di akhir zaman—menyucikan watak manusia dan menuntun kita ke dalam kerajaan yang indah. Setelah menyelidiki, aku menerima pekerjaan Tuhan Yang Mahakuasa. Aku aktif bersekutu, menolong saudara-saudari, dan kemudian dipilih menjadi pemimpin gereja.
Di rumah, suamiku sering menentang imanku, tetapi aku tetap melaksanakan tugas. Anehnya, keadaan ekonomi justru membaik saat itu. Tabungan terkumpul dan aku merasa yakin: “Jika aku setia, Tuhan pasti memberkati. Keluargaku akan semakin baik.” Namun rencanaku runtuh ketika suamiku mengeluh sakit punggung dan hasil pemeriksaan menunjukkan saraf terjepit serta taji tulang. Dokter memperingatkan risiko kelumpuhan dan menyarankan segera berhenti bekerja.
Kondisi itu membuatku panik. Rumah baru masih berutang, anak butuh biaya kuliah, dan aku sibuk dalam pelayanan. Putra kami masih magang, penghasilannya kecil. Aku menenangkan diri—berpikir Tuhan pasti menolong—tetapi berbulan-bulan berlalu, penyakit suamiku tak membaik. Kami mencoba pengobatan, namun hasilnya tetap sama.
Kegelisahan menumpuk menjadi keluhan: mengapa keluargaku mengalami kesulitan sementara keluarga rekan pelayan terlihat sejahtera? Aku mulai menghitung pengorbanan: jam pelayanan, letih, air mata—lalu bertanya dalam hati apakah Tuhan tidak adil. Di pertemuan, seorang saudari menegurku tegas: “Bukankah itu keluhan kepada Tuhan?” Teguran itu menyentakku. Aku teringat firman Tuhan tentang setiap keluhan yang meninggalkan noda dan merupakan dosa. Malam itu juga aku berseru dalam doa, meminta pencerahan.
Tuhan menjawab lewat sebuah lagu pujian dari firman tentang tujuan pemurnian: Tuhan tidak pernah melakukan pekerjaan yang sia-sia; pemurnian bukan untuk menyingkirkan, melainkan untuk mengubah niat, pandangan lama, dan kasih kita, agar kita memiliki kasih yang murni kepada Tuhan. Kalimat itu seperti menyalakan lampu di ruang hati yang gelap. Aku menyadari, selama ini aku mengejar berkat seperti di Zaman Kasih Karunia—berharap Tuhan segera menyembuhkan suami sebagai balasan atas kesetiaanku.
Aku membaca lagi firman yang menyingkap mentalitas transaksi manusia: kita mudah menghitung berkat, meminta upah, menekan Tuhan dengan tuntutan, bahkan melemah ketika ujian datang. Firman itu menelanjangi isi hatiku—aku memang sedang “berdagang” dengan Tuhan. Aku melayani sambil membawa syarat: berkat keluarga, kesehatan, keamanan. Saat kenyataan tak sesuai, aku mengeluh.
Firman berikutnya menyingkap akar masalah: falsafah hidup duniawi merusak hati nurani dan akal—“untung rugi” menjadi ukuran tunggal. Karena itu, kita gampang memandang iman sebagai alat meraih kenyamanan. Aku melihat dengan jelas diriku: pelayanan ada, tetapi ketulusan kurang; doa ada, namun penuh syarat. Aku mengerti, keadaan suamiku adalah cermin yang Tuhan pakai untuk memperlihatkan kebusukan niatku, agar aku bertobat dan berubah.
Info Lainnya :
Kala Ku Cari Damai Hanya Yesus Jawaban Hidupku Sebuah Lagu Rohani yang Menyentuh Hati
Temukan Kedamaian: Lagu Rohani Kristen Terbaru di Radio Senda 1680
Aku merenungkan teladan Ayub. Ia memuji Tuhan baik ketika diberkati maupun saat kehilangan. Ia tidak menawar, tidak menuntut. Nama Tuhan tetap dipuji karena kedaulatan-Nya tidak berubah. Sementara aku hanya memuji saat nyaman dan merajuk saat susah. Perbedaannya jauh. Firman juga menegaskan: tugas makhluk ciptaan tidak terkait berkat atau kemalangan. Melaksanakan tugas adalah panggilan surgawi, bukan alat untuk menagih upah.
Aku memutuskan untuk melayani tanpa syarat, menyerahkan hasil pada Tuhan, dan berhenti menuntut kesembuhan suami sebagai imbalan. Dalam hatiku teringat janji Injil: Bapa memelihara burung di udara, terlebih lagi manusia yang dikasihi-Nya. Karena itu, kekhawatiran yang dulu memenuhi pikiranku kini kutaruh sepenuhnya kepada Tuhan, dan aku belajar merasa cukup dengan kecukupan hari ini.
Tak lama, paman teman suami datang berlibur. Ia mengajarkan teknik pengobatan tradisional untuk sakit punggung dan kaki, bahkan mengobati suamiku tanpa biaya. Kondisinya membaik. Suami lalu membuka jasa terapi sederhana di pasar, sehingga keuangan keluarga perlahan pulih. Sikapnya terhadap imanku juga melunak. Kadang penyakitnya kambuh, tetapi aku tidak lagi mengeluh. Aku belajar melihat setiap keadaan sebagai pengaturan Tuhan yang baik dan kesempatan untuk taat.
Aku sadar, perubahan ini bukan karena kepandaianku, melainkan karena firman yang menuntun dan memurnikan. Tuhan tidak menolak kami; Ia sedang mendidik, membongkar niat rusak, dan menumbuhkan ketundukan sejati. Di jalan pemurnian, aku menemukan damai: bukan karena semua masalah selesai, tetapi karena hatiku kembali pada posisi makhluk ciptaan—taat dan percaya.
Kini, saat menoleh ke belakang, aku dapat berkata: pemurnian adalah kasih. Tuhan menegurku ketika aku ingin menawar; Dia menghiburku ketika aku nyaris putus asa. Ia tidak mematahkan buluh yang terkulai, melainkan mengokohkan imanku. Aku belajar melayani tanpa syarat, mencintai tanpa menuntut, dan percaya bahwa setiap musim adalah rancangan-Nya.
Jika hari ini engkau sedang bergumul—dengan sakit, ekonomi, atau keluarga—jangan lekas menyimpulkan Tuhan tidak adil. Datanglah dengan hati terbuka. Biarkan firman menyingkap dan menyembuhkan. Tuhan setia; saat kita belajar tunduk, Ia akan membuka jalan yang tidak kita duga. Syukur kepada Tuhan.