Shopee dan Tokopedia: Ketika Masa Keemasan Berakhir?
Radio Senda 1680 – Dulu, Shopee dan Tokopedia identik dengan belanja online yang serba mudah, praktis, dan penuh dengan promo menggoda. Jingle mereka sering terdengar di televisi dan ponsel, dengan promo “gratis ongkir” yang menjadi godaan besar bagi konsumen. Tak jarang, banyak orang tergoda untuk check out barang, bahkan hanya untuk sepasang kaus kaki.
Namun, kini dunia digital terasa jauh lebih suram. Suasana yang dulu penuh warna kini meredup, dengan notifikasi diskon digantikan berita tentang PHK, penurunan trafik, dan arah bisnis yang semakin tidak pasti.
April 2025 menandai titik balik yang mencolok dalam dunia e-commerce. Berdasarkan data dari Goodstats.id, trafik kunjungan ke situs-situs e-commerce besar mengalami penurunan tajam:
Ini bukan sekadar angka, ini adalah sinyal bahwa belanja online mulai kehilangan daya tariknya.
“Simak Juga: Simak 4 Elemen Zodiak dan Peranannya dalam Kehidupan”
Dibalik penurunan trafik, sektor e-commerce kini menghadapi badai lebih besar: Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Shopee memutus kontrak lebih dari 300 pekerja di proyek konten videonya di Solo, sementara Tokopedia, setelah merger dengan TikTok Shop, turut memangkas ratusan posisi. Bahkan, ByteDance, raksasa yang mendukung TikTok, ikut memangkas tim logistik dan pemasaran.
Dulu, perusahaan e-commerce berlomba untuk merekrut sebanyak mungkin pekerja demi ekspansi. Kini, mereka lebih fokus pada penghematan dan efisiensi.
Berbeda dengan Shopee dan Tokopedia, Bukalapak memutuskan untuk berhenti menjual barang fisik. Mereka kini lebih fokus pada produk digital seperti pulsa, voucher, dan layanan lainnya yang tidak memerlukan gudang atau pengiriman. Langkah ini pragmatis, namun juga menunjukkan bahwa persaingan di sektor barang fisik sangat berat dan mahal.
Ada tiga faktor utama yang menjelaskan penurunan e-commerce besar di Indonesia:
Setelah pandemi berlalu, masyarakat mulai kembali ke toko fisik. Belanja online kini lebih kepada pilihan daripada kebutuhan mendesak.
Investor semakin bijak. Mereka lebih memilih model bisnis yang berkelanjutan daripada sekadar mengejar angka pengguna dengan diskon besar.
Kondisi ekonomi yang sulit menyebabkan banyak orang kembali memprioritaskan kebutuhan pokok, bukan barang-barang konsumtif.
PHK di sektor digital berdampak pada banyak pihak: perusahaan logistik, UMKM digital, hingga generasi muda yang bekerja di industri ini. Jika dibiarkan, krisis ini bisa memperburuk pasar kerja yang sudah rapuh pasca-pandemi.
Ke depan, e-commerce harus beradaptasi. Mereka tidak lagi bisa mengandalkan diskon dan iklan. Beberapa strategi yang sedang dilakukan termasuk diversifikasi layanan ke sektor hiburan, finansial, dan digital. Sinergi dengan industri lain, seperti perbankan digital, juga menjadi langkah yang menarik.
Bagi konsumen, ini saatnya untuk lebih bijak dalam berbelanja. Untuk pemerintah, ini adalah waktu yang tepat untuk memperkuat perlindungan digital dan menata ulang ekosistem perdagangan daring.
Bagi mereka yang terkena PHK, yakinlah bahwa setiap badai pasti berlalu. Yang penting adalah menjaga akar kuat agar bisa tumbuh kembali.
“Baca Juga: Alergi vs Autoimun Kulit, Apa Bedanya?”